26 Des 2010

Buku Kritik Hadis Kontemporer (Penting dibaca setiap Muslim pejuang kemurnian as-Sunnah)

oleh 'ibaadur Rahman pada 22 Mei 2010 jam 17:43


Judul Buku : Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah
Penulis : Mahmud Abu Rayyah
Penerbit : Dar al-Ma’arif, Cairo
Cetakan : VI, 1994
Halaman : 395
Resentator : Mohammad Subhan Zamzami, Lc.*

Fakta sejarah mencatat bahwa fenomena kritik hadis di dunia Islam sudah ada sejak masa-masa awal Islam. Ini terbukti dengan adanya kritik seorang sahabat terhadap sahabat yang lain, seperti kritik Aisyah terhadap riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Begitu pula pada masa-masa setelahnya bahkan hingga sekarang. Hanya saja, kritik terhadap mata rantai riwayat (sanad) mendapatkan porsi lebih daripada kritik teks (matan). Dengan buku ini, Mahmud Abu Rayyah berusaha membuka kembali fenomena ini dengan mempertanyakan kembali persoalan-persoalan fundamental dalam kajian hadis. Tak ayal bila buku ini dikritik tajam oleh para sarjana Islam di Afghanistan, Irak, Hijaz, Mesir, Syam dan lain-lain. Bahkan G.H.A. Juynboll, orientalis terbesar dalam kajian hadis kontemporer, tak ketinggalan untuk merekamnya dalam disertasinya The Authenticity of the Tradition Literatur: Discussion in Modern Egypt.

Sosok Mahmud Abu Rayyah (1989-1970), penulis Mesir di majalah al-Risalah (bukan Mahmud Abu Rayyah [1922-2004] tokoh Ikhwan Muslimin), dikenal karena tiga karya kontroversialnya, yaitu Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, Syaikh al-Mudhîrah: Abû Hurayrah dan Dîn Allâh Wâhid: Muhammad wa al-Masîh Akhawâni. Karena dua karya pertamanya inilah dia dicap sebagai orang Syi’ah bahkan dikafirkan. Muhammad Ajjaj al-Khatib, misalnya, dia terang-terangan menuduhnya sebagai murid Abdul Husain Syarafuddin, pengarang buku kritis berjudul Abû Hurayrah dari kalangan Syi’ah (Ajjaj, 1982: 214). Kalau kita baca daftar buku referesi buku Abu Rayyah ini niscaya kita akan menemukan karya Abdul Husain itu juga bertengger di sana. Tapi Abu Rayyah tak peduli karena meskipun dia dianggap sebagai tokoh Ahlus Sunnah dalam biografinya dalam Syaikh al-Mudhîrah: Abû Hurayrah, tapi dia malah berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah baru ada pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan julukan tersebut hanya untuk rakyat jelata. (Abu Rayyah, 1993: 336).

Di Barat ada dua pendekatan dalam studi sejarah Islam awal, agama dan kedudukan al-Qur`an sebagai kitab suci, yaitu pendekatan tradisional dan revisionis (Masrur, 2007: 31). Kalau kita mau meletakkan buku Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah dalam kategori ini, maka ia lebih cocok dikategorikan pada pendekatan tradisional karena metodologi Abu Rayyah masih berkutat pada metode-metode tradisional, yaitu dengan meneliti sumber-sumber Islam dengan cara-cara yang sesuai dengan berbagai asumsi dan tradisi kesarjanaan muslim, dan belum menggunakan temuan-temuan arkeologi, epigrafi, dan numismatic sebagai bukti sejarah sebagaimana metode kalangan revisionis. Oleh karena itu, buku ini berusaha menggali khazanah-khazanah intelektual Islam baik Sunni atau Syiah sebagai topangan argumentasinya, meski tidak lepas dari sederet kecil karya para orientalis seperti Ignaz Goldziher, Philip Hitti, Kramers dan lain-lain.

Secara garis besar, persoalan utama buku ini berkutat pada beberapa persoalan: 1) periwayatan hadis dengan makna bukan dengan lafadz; 2) keadilan para sahabat; 3) pemalsuan hadis; 4) riwayat israi’liyyat; 5) kredibilitas Abu Hurairah; 6) kodifikasi al-Qur`an; 7) kodifikasi hadis; 8) al-Jarh wa al-Ta’dîl; 9) hadits ahad; dan 10) beberapa catatan penting. Biasanya persoalan-persoalan ini dikemas dengan cara menukil pendapat para ulama baik klasik maupun kontemporer, membeberkan kekurangan persoalan itu serta mengkritiknya habis-habisan dan sedikit sekali menawarkan solusi pemecahannya. Salah satu solusi yang dia tawarkan adalah kritik teks (matan) seperti diisyaratkan oleh Ibnu Khaldun, Taha Husain dan lain-lain. Oleh karena itu, getaran dekonstruksi kajian hadis lebih terasa daripada rekonstruksinya dalam buku ini. Di bawah ini kita akan mengulas sedikit sebagian poin-poin penting tersebut.

Pertama, persoalan periwayatan hadis dengan makna bukan dengan lafadz. Abu Rayyah mengkritik metode periwayatan hadis dengan makna yang lebih mendominasi metode periwayatan daripada periwayatan hadis dengan lafadz sebagaimana dibolehkan oleh mayoritas ulama. Menurutnya, periwayatan hadis dengan makna hanya terjadi karena hilangnya lafadz-lafadz asli dan kelupaan yang mendorongnya untuk merubahnya, karena bila lafadz asli tetap terjaga maka tidak perlu ada perubahan dan meriwayatkan lafadz asli itu tentu lebih baik daripada dengan makna. (hal. 49-50) Karena kelonggaran ini, redaksi hadis yang dianggap mutawatir sekali pun ada yang lafadznya berbeda. Abu Rayyah seakan-akan ingin menyatakan bahwa dengan dibolehkannya periwatan hadis dengan makna, maka pintu-pintu perselisihan antara umat Islam akan terbuka lebar.

Perselisihan dalam ibadah, misalnya, Abu Rayyah menyebutkan bukti sembilan varian lafadz tasyahhud para sahabat yang berbeda-beda satu sama lainnya. Seandainya, menurutnya, varian lafadz tasyahhud termasuk hadîts qawlî maka bisa dimaklumi, tapi permasalahannya varian lafadz tersebut termasuk amal ibadah mutawatir yang dilakukan semua sahabat pada setiap kesempatan. Menariknya, masih menurut Abu Rayyah, setiap sahabat bersaksi bahwa Rasulullah yang mengajarkannya padanya sebagaimana beliau mengajari mereka al-Qur`an. Sebagai imbasnya, para ulama berbeda pendapat tentang status tasyahhud dan hukumnya dalam shalat. (hal. 55-58) Dan pada gilirannya, umat Islam pun terpecah belah dibuatnya.

Kedua, persoalan status keadilan para sahabat. Abu Rayyah mengkritik tajam kaidah “al-Shahâbah Kulluhum ‘Udûl” (semua sahabat adil) yang dianut oleh hampir semua ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa. Menurutnya, para sahabat hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan sebagaimana manusia lainnya. Yang membuat mereka berbeda dengan yang lain hanya karena mereka dianugerahi kesempatan melihat dan bergaul dengan Rasulullah, tak lebih. Toh, di antara mereka ada juga yang hipokrit seperti dalam surat al-Taubah perihal perang Tabuk, ayat 9-11 surat al-Jumu’ah dan riwayat al-Bukhari dari Hudzaifah bin al-Yaman tentang kemunafikan para sahabat pada zaman Rasulullah dan setelahnya. Kaidah itu merupakan sikap percaya dan penghormatan yang berlebihan dan bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah, bukti-bukti kuat dan tak sesuai dengan tabiat manusia. Baginya, ia hanya berlaku bagi sebagian besar mereka saja, bukan semuanya. Lagi pula, standard keadilan bukanlah ‘ishmah (dijaga dari salah dan dosa). (hal. 312-333)

Ketiga, persoalan isra`iliyyat. Kali ini Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Tamim bin Aus al-Dari dan Abu Hurairah menjadi sasaran kritik pedasnya tanpa memperdulikan pujian mayoritas ulama Sunni atas mereka. Menurutnya, merekalah yang bertanggungjawab atas tersebarnya riwayat-riwayat isra`iliyyat dalam Islam terutama dalam ranah tafsir. Dengan riwayat-riwayat isra`iliyyat, menurutnya, mereka ingin menghancurkan Islam dari dalam. Bahkan dia menuduh Ka’ab al-Ahbar sebagai tokoh zionis pertama, bukan Abdullah bin Saba` sebagaimana sering kita dengar. Ka’ab al-Ahbar berhasil mempengaruhi para sahabat dan tabi’in untuk mendengarkan kisah-kisahnya yang dinukil dari Taurat dan bersekongkol dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Bahkan dia juga menuduh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru bin Ash dan Abu Hurairah sebagai muridnya yang turut membantu misi licik tersebut. (hal. 118-167) Sebenarnya, Abu Rayyah bukan satu-satunya orang yang mengkritik riwayat Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih, karena sebelumnya Rashid Ridha juga mengkritik riwayat mereka meski tidak sekeras Abu Rayyah. (hal. 366-368)

Keempat, kredibilitas Abu Hurairah. Poin ini merupakan poin yang sering dibahas dalam buku ini. Abu Hurairah adalah tokoh utama korban kritik tajam Abu Rayyah. Menurutnya, bagaimana mungkin orang yang bersahabat hanya setahun sembilan bulan dengan Rasulullah ini menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, apalagi dia hanya seorang sahabat biasa? Logisnya, seharusnya sahabat yang paling lama bersama Rasulullah, paling tinggi derajat dan pengetahuan agamanya adalah sahabat yang paling banyak riwayatnya seperti empat khalifah pertama, sepuluh orang yang dijamin masuk surga dan para petinggi kaum muhajirin dan anshar. Tapi faktanya tidak demikian, justeru riwayat mereka sangat sedikit bahkan ada yang cuma satu hadits. Motif masuk Islam dan persahabatannya dengan Rasulullah, menurutnya, hanya demi kepentingan perut, dia juga sering bercanda, berkomplot dengan Mu’awiyah dan lain-lain. (hal. 167-197) Bukan hanya itu, setelah itu dia menulis buku kritikan khusus terhadap Abu Hurairah berjudul Syaikh al-Mudhîrah: Abû Hurayrah sebagai pengembangan dari poin-poin dalam Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah.

Persoalan kredibilitas Abu Hurairah merupakan isu klasik yang masih hangat hingga sekarang. Selain Abu Rayyah, Abdul Husain Syarafuddin juga melakukan hal yang sama yang kemudian dikritik tajam oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya Abû Hurayrah: Râwiyah al-Islâm yang terbit pertama kali tahun 1962. Selain mereka berdua masih ada beberapa orang lagi, salah satunya adalah Musthafa Buhindi dalam karyanya Aktsara Abû Hurayrah: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah. Bahkan M. Zain mengkaji isu ini secara khusus dalam tesis magisternya pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999 dengan judul Kredibilitas Abu Hurairah.

Buku Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah hanya satu dari sekian buku kritik hadis yang ada, seperti Tahrîr al-’Aql min al-Naql karya Samir Islambuli, al-’Awdah ila al-Qur`ân karya Kassem Ahmad, Musykilah al-Hadîts karya Yahya Mohamed dan lain sebagainya. Hanya saja, karya Abu Rayyah ini adalah karya yang paling fenomenal dan termasuk karya-karya awal dalam bidang kritik hadis modern-kontemporer. Dengan buku ini, dia mengajak kita memikirkan kembali dan menggugat kemapanan disiplin ilmu hadis yang sudah dikembangkan selama berabad-abad. Tak heran bila ada beberapa buku yang mengkritiknya seperti al-Anwâr al-Kâsyifah li mâ fi Kitâb Adhwâ ‘ala al-Sunnah min al-Zalal wa al-Tadhlîl wa al-Mujâzafah karya Abdurrahman bin Yahya al-Yamani, Abû Hurayrah: Râwiyah al-Islâm karya Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî’ al-Islâmî karya Musthafa al-Siba’i, Difâ’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubah al-Musytasyriqîn wa al-Kuttâb al-Mu’âshirîn karya Muhammad Abu Syuhbah dan lain-lain.

Buku ini berguna bagi para pengkaji pemula dalam bidang kritik hadis yang sebelumnya sudah mempunyai dasar-dasar ilmu hadis. Berbagai kritikan ekstrimnya bisa menggugahnya untuk lebih jeli dalam mengkaji literatur dan konsep-konsep mapan dalam kajian hadis. Selain berbagai kelebihannya, ia juga tak luput dari kekurangan seperti tidak adanya konsistensi dalam persoalan Abu Hurairah yang di satu sisi mengkritiknya habis-habisan, tapi di sisi lain malah beberapa kali mendaku pada riwayat Abu Hurairah untuk mengesahkan pendapatnya. Selain itu, penulisan buku referensi kurang mendapat perhatian yang kadang-kadang tidak termaktub entah disengaja atau tidak, terutama karya-karya orientalis sebagaimana disebutkan dalam daftar referensi buku ini sehingga menyulitkan para pembacanya untuk mengeceknya langsung ke sumbernya dan kekurangan-kekurangan lainnya. Seandainya Abu Rayyah bisa disandingkan dengan al-Fadani, al-Ghumari, Ahmad M. Syakir, al-Albani, al-A’dzami atau al-Arna`uth, maka pamor serta kualitas buku kontroversial ini bisa lebih diperhitungkan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberi Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.