23 Sep 2010

Soal Poligami, Mari Bertanya pada Nurani

Poligami dalam Islam adalah rahmat Allah yang besar. Tapi sayangnya, sebagian orang dimasa sekarang menolaknya dengan keras. Penetrasi pemikiran (fikroh) sekuler, liberalisme dan feminisme telah mengaburkan pemahaman tentang poligami dalam Islam. Akhirnya, sebagian orang secara membabi-buta menolak poligami.

Sebelum memahami persoalan poligami, sudah sewajarnya kita mempelajari definisi, sejarah dan tujuan poligami itu sendiri. Tidak hanya pandai menolak dan gebyah-uyah mendangkalkan kebaikan yang ada pada poligami itu sendiri. Dengan pemahaman yang memadai, diharapkan dukungan dan penolakan terhadap poligami benar-benar lahir dari sebuah jawaban rasional.

Selain istilah poligami, dikenal istilah poligini. Poligini adalah menikahi wanita lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Poligami memiliki makna yang sama dengan poligini. Perbedaannya, dalam poligami jumlah wanita yang boleh dinikahi dibatasi. Sedangkan poligini tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahi. Kebanyakan orang hanya mengenal poligami tanpa mengetahui bahwa istilah poligami hanyalah turunan dari istilah poligini. Sehingga poligini yang sering dilihatnya, dikiranya poligami. Bagi orang yang berlatar belakang pendidikan Matematika dan Hukum, mereka memandang penting perbedaan definisi ini.

Selain soal batasan jumlah wanita yang boleh dinikahi, perbedaan poligini dan poligami lebih banyak menyangkut maksud dan tujuan diberlakukannya poli-poli tersebut. Poligini muncul bertujuan untuk menyalurkan libido lelaki yang secara fitrah memang lebih besar daripada libido kaum hawa. Bukan kemauan para lelaki memiliki libido besar, tapi 'sudah dari sononya' begitu. Secara biologis, produksi sperma manusia berlangsung terus menerus tanpa henti sejak akil baligh hingga ajal menjemputnya. Sedangkan produksi ovum perempuan bisa beristirahat tiap bulannya (menstruasi). Bahkan perempuan memiliki masa menapause.

Perempuan patut bersyukur bisa melakukan haid untuk mengeluarkan sel telurnya yang tidak dibuahi. Tanpa diniatkan dan nafsu apapun, haid akan berlangsung dengan sendirinya. Tak ada wanita kebeled haid, seperti kencing. Sedangkan lelaki hanya bisa mengeluarkan sel spermanya melalui dua cara: onani dan sex. Ada dentuman hormon, emosi dan jiwa yang memaksa sperma dikeluarkan. Jika ditahan, penyakit kelenjar prostat siap menanti. Bersyukurlah wahai para wanita!

Sedangkan poligami memiliki maksud mengatasi persoalan sosial yang muncul dari poligini; yaitu kehormatan, keturunan, dan keadilan. Pertama, mengangkat kehormatan perempuan menuju perikatan suci yaitu pernikahan. Kedua, menjaga silsilah keturunan dan masa depan keturunan deri persoalaan budaya, sosial, dan ekonomi. Ketiga, menegakkan keadilan ekonomi dan biologis diantara para perempuan yang dipoligini.

Sejarah peradaban manusia diwarnai dengan praktek poligini dimana-mana. Praktek poligini dapat terjadi pada sistem sosial patrilineal (ayah) maupun matrilineal (nenek-mamak). Para nabi dalam agama samawi juga mempraktekkan poligini, tetapi poligini dalam arti poligami, bukan poligini an-sich.

Hanya dua peradaban dalam sejarah peradaban dunia yang sama sekali tidak pernah mempraktekkan poligini yaitu Romawi Kuno dan Yunani Kuno; akar dari sejarah peradaban Eropa modern. Tetapi sejarah mencatat, di dua peradaban yang menentang poligini itulah, praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan meraja lela. Monogami hanyalah praktek hukum diatas kertas. Kebutuhan sosial poligini ditoleransi dengan praktek pelacuran, perzinahan dan perselingkuhan. Disanalah wanita hanya dijadikan simbol cinta, disanjung dan dinomersatukan, tanpa diperhatikan harga dirinya.

Poligami lebih mulia daripada poligini. Asumsi awal praktek poligami sebenarnya adalah monogami. Tapi menimbang kebutuhan sosial dan biologis manusia, ada perbaikan sistem poligini, yaitu poligami. Poligami memang hanya dikenal dalam ajaran Islam. Diluar Islam, mereka justru mempraktekkan poligini.

Yang dewasa ini terjadi adalah praktek poligini, atau poligami yang disalahartikan. Mereka menggunakan dalil 'toleransi berpoligami' untuk menikah lagi secara bebas. Padahal untuk mengambil keputusan berpoligami, semestinya para lelaki memahami dengan baik syarat yang ditetapkan oleh Allah : Adil! Para lelaki tidak boleh cenderung pada istri yang lebih muda sehingga menimbulkan ketidakadilan ekonomi.

Konsep ketidakadilan dalam keluarga ini bukan berasal dari Islam, tapi dari negeri pendukung monogamy : yaitu Eropa (Barat). Di Eropa sering terjadi ketidak-adilan ekonomi dalam keluarga karena mereka memang tidak mengatur soal internal bahtera rumah tangga. Di Barat, harta suami adalah miliknya sendiri, dan ia bebas memberikan kepada siapapun yang ingin dia berikan. Itulah sebabnya, wanita Barat terkadang harus berjuang sendiri untuk menjaga ketahanan ekonominya, sebab lelakinya memang tidak bertanggung jawab penuh soal perekonomian keluarga.

Di Barat, konsep keluarga hanya didasarkan pada konsep 'cinta'. Laksana Pangeran Cupid yang mendambakan Dewi Venus atau tragedi cinta St. Valentine. Nyaris seluruh catatan sejarah peradaban Yunani dan Romawi Kuno dipenuhi dengan episode soal Cinta. Konsep cinta tunggal inilah yang dikemudian hari diterjemahkan dalam konsep monogami. Pernikahan bagi orang Barat, bukanlah bertujuan pembentukan keluarga, tapi peresmian cinta.

Jangan Dewakan Cinta

Eropa berusaha melakukan expansi konsep monogami mereka dengan memaksa kaum muslimin menerima konsep monogami dengan dalih ketidakadilan, gender dan feminisme. Padahal dalam Islam tidak ada persoalan gender; sementara konsep poligami dalam Islam sudah ditata dalam konsep keadilan Islam.

Demi tujuannya itu, barat justru menebar frase pemikiran paling menakutkan dalam sejarah peradaban manusia : CINTA. Ratusan juta pemuda pemudi muslim terjerat senandung cinta, yang akhirnya justru malah menolak konsep yang telah disediakan Islam. Perlahan tapi pasti, mereka menjadi pendukung gerakan feminisme ala Barat. Sedangkan jika ditanya soal definisi dan sejarah monogami, poligini, dan poligami, mereka bungkam. Mereka cuma menelan mentah-mentah jualan cinta orang Barat.

Bicara soal poligami, mari kita melakukan riset ke tempat pelacuran. Disana kita akan bertanya para pelacur; sukakah mereka dengan profesi mereka? Jangan kaget jika mendapatkan jawaban: "Saya lebih baik dinikahi jadi istri simpanan daripada harus bergelimang dosa." Ternyata, mereka lebih memilih jalan kehormatan : dipoligami. Tapi kita harus gigit jari, kebanyakan istri dari pelanggan kompleks pelacuran adalah pendukung berat monogami. "Mending suami gue jajan aja daripada gue dimadu."

Mungkin Anda termasuk istri anti poligami. Bersyukurlah Anda telah mendapatan suami yang mencintai Anda dan Andapun mencintainya. Tapi janganlah sombong! Mentang-mentang Anda sudah menggenggam apa yang ingin Anda dambakan, lalu anda menghalangi kemungkinan orang lain mendapatkan kebahagiaan pula. Anda tidak mencintai pasangan hidup Anda, tapi Anda hanya mencintai diri sendiri. Cinta Anda adalah cinta yang dibalut dalam ke-Aku-an (egoisme). Ingatlah di luar sana, ada banyak wanita yang tidak seberuntung Anda, hingga mereka harus merelakan dipoligami. Mereka adalah para pelacur, korban perkosaan, janda-janda miskin, dan gadis-gadis yang telat menikah. Diluar sana banyak pula wanita yang menginginkan mendapatkan kebaikan dari suami Anda, wanita-wanita shalehah yang kesulitan mencari suami shaleh. Bagaimana jika Anda berada diposisi mereka? Mempertahanan idealisme monogami? Sampai mati kemungkinan Anda tidak mendapatkan suami yang Anda dambakan.

Atau barangkali Anda seorang lelaki yang juga anti poligami. Bersyukurlah karena istri Anda masih bisa memenuhi semua kebutuhan cinta Anda. Saya cuma berdoa, semoga anda benar-benar mencintai pasangan hidup Anda : tidak berselingkuh, tidak berzina, dan tidak melacur. Jika Anda melakukannya, tanyakan pada hati nurani Anda : Apakah Anda setuju dengan saya soal Poligami?

I am a Second Wife

Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu saya sangka ia wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.

Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).

Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim.

Biasanya ketika saya menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, saya tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika saya tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata "alhamdulillah"."Masya Allah" dst, meluncur lancar dari bibirnya.

Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam. "I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)", mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. "I did not even finish my High School and got pregnant when I was only 17 years old", katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi mengidupi anaknya sebagai `a single mother' dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.

Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan `respek' kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.

Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apakah tinggal dengan keluarga, dll.

Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut `reading materials as a gift". Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets).

Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.

"Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar saya ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun saya menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!", kenang Huda dengan muka yang ceria.

Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak berkomunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. "Saya sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.

Kejamnya Poligami

Suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa "Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita", katanya bersemangat.

Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Saya cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Saya biasa berfikir bahwa Huda ini sangat terpengaruh oleh etiket Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri.

"I am sorry Imam Shamsi", dia memulai. "I am bothered enough with this woman's accusation", katanya dengan suara agak meninggi. Saya segera menyelah: "What bothers you, sister?". Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.

Tapi yang sangat mengejutkan saya dan banyak peserta diksusi hari itu adalah ketika mengatakan: "I am a second wife." Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak."I am happier since then", katanya mantap.

Dia seolah berda'wah kepada wanita Bulgaria tadi: "Don't you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people" ,jelasnya. Saya kemudian menyelah dan menjelaskan kata "halal" kepada wanita Bulgaria itu.

"I know, people may say, I have a half of my husband. But that's not true", katanya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbanannya bagi kepentingan masyarakat dan agama.

Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam. Saya kemudian bertanya kepada Huda: "So who is your husband?" Dengan tertawa kecil dia menjawab "the person who introduced me to Islam". Dan lebih mengejutkan lagi: "his wife basically suggested us to marry", menutup pembicaraan hari itu.

Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Saya sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, "he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you", kata Huda ketika saya menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.

"Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you", nasehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!

New York, 10 Mei 2006

*) Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberi Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.